Gifts from Manglayang..

May 4, 2009

Karena rasa penasaran gagal melihat sunrise di Tangkuban, saya dan teman-teman merencanakan untuk membalas dendam dengan mendaki gunung lagi. Kali ini, gunung yang menjadi tujuan kami adalah gunung Manglayang yang berada di daerah Jatinangor.

Pendakian kali ini juga meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi saya….

Akhirnya hari yang dinanti pun tiba. Tanggal 25 April 2009. Akan tetapi, karena satu dan lain hal, yang naik berkurang menjadi tujuh orang saja, yaitu Saya, Octa, Dwi, David, Ruth, Kiki dan Ferry. Kami berkumpul terlebih dahulu di perpustakaan pusat ITB jam 1 siang lalu makan bersama. Kemudian dengan menaiki Damri, sampailah kami di Jatinangor.

Sesampai ke Jatinangor, kami agak bingung juga gimana cara untuk ke kaki Manglayang, karena sebelumnya tidak survei. Setelah nanya-nanya, jadilah kami naik ojek ke kaki gunung Manglayang dengan membayar 12 ribu rupiah.

Perjalanan naik ojek ke kaki gunung itu pun mempunyai cerita sendiri. Ternyata medan untuk mencapai kaki gunung itu tidak bersahabat, jalannya rusak dan berbatu-batu. David jatuh dari ojek. Yang lain harus mengganti posisi menaruh tas dari punggung ke perut. Dwi ketakutan dan meminta agar ojek saya tetap di belakang dia. Dan……,ojek yang dinaiki Kiki tidak sanggup untuk naik ke kaki gunung, sehingga dia menelepon kami dan minta dijemput dengan ojek lain. Pelajaran dari sini, ternyata lebih aman apabila kami mencarter angkot daripada naik ojek.

Setelah semua cerita, sampailah kami ke kaki gunung. Lalu Dwi dan Ruth membeli nasi untuk bekal kami disana. Semua persiapan telah dijalani, logistik telah dilengkapi, yang tersisa hanyalah kesiapan hati. Setelah berdoa bersama, kami sudah siap untuk berangkat.

Jalur pendakian Manglayang ada dua, jalur satu adalah jalur yang agak curam, tetapi cepat, dan jalur kedua adalah jalur yang lebih landai tetapi lebih lama untuk sampai ke Puncak. Setelah bertanya-tanya ke warga sekitar, diputuskan kalau kami akan mendaki lewat jalur pertama yang agak curam. Sebelum mendaki, kami bertanya ke warga, berapa lama kira-kira untuk sampai ke puncak. Ternyata, hanya butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Puncak. Sontak, hal ini membuat kami tertawa. Karena kami menganggap dua jam perjalanan itu hanya “geli-geli di kaki” saja karena ini adalah waktu pendakian yang terpendek yang kami jalani. Ditambah fakta bahwa kemampuan fisik kami telah meningkat karena persiapan olahraga yang kami lakukan sebelumnya. Bahkan kami bercanda, gimana kalau kami meninggalkan bawaan di bawah, lalu kalau ingin makan turun lagi ke bawah untuk mengambil bawaan kami.

Dan saya pun amat menganggap remeh karena saya sangat yakin dengan kekuatan fisik saya…

Saya ditunjuk untuk memimpin perjalanan dan mencari jalan. Setelah saya berdoa secara pribadi, mulailah saya memimpin perjalanan. Dalam mencari jalan, beberapa hal yang saya jadikan patokan adalah:

  1. Melihat sarang laba-laba. Karena, kalau ada sarang laba-laba yang besar, itu tandanya jalan tersebut tidak pernah/jarang dilalui.
  2. Melihat apakah ada undakan-undakan untuk jalur atau tidak. Manglayang adalah gunung yang sudah sering didaki sehingga pasti ada undakan untuk jalur.
  3. Jalurnya harus mengarah ke atas.

Lalu, mulailah kami berjalan. Ternyata, jalur pendakian pertama ini memiliki banyak persimpangan. Lalu, saya pun mencatat di handphone saya setiap persimpangan yang kami lalui dan tanda-tanda persimpangan tersebut.

Ada sensasi tersendiri yang saya dapatkan sebagai pembuka jalan. Karena jalur pendakian yang curam, Octa, David, Kiki dan Ferry pun membantu Dwi dan Ruth untuk mendaki, sehingga menyebabkan mereka semua tertinggal agak jauh di belakang saya. Saya sendirian membuka jalan di depan. Terkadang ada perasaan takut juga, karena saya sendirian dan saat itu sudah gelap. Tapi, perasaan takut itu selalu bisa saya usir dengan doa dalam hati.

Sampai satu saat, setelah memasuki daerah pepohonan lebat, saya mendengar suara-suara aneh. Suara itu seperti suara harimau sedang menggeram. Waktu mendengar suara geraman itu, saya takut. Tapi saya berpikir dalam hati, apa mungkin ada harimau di Jatinangor? Sepengetahuan saya, tidak ada harimau di Jawa Barat kecuali di kebun binatang. Tapi, saya tetap kuatir. Kuatir akan keselamatan saya dan teman-teman saya, soalnya kalaupun bukan harimau, anjing misalnya, itu tetap berbahaya untuk kami. Saya lalu berdoa lagi agar tetap tenang. Dan saya pun menunggu teman-teman yang lain.

Kembali ke pendakian lagi. Setelah mendaki sekian lama, ternyata jalur yang kami lalui semakin sulit saja. Lama-kelamaan jalur pendakian semakin curam, ditambah dengan tanah yang gembur, sehingga gampang longsor saat didaki. Saya bertanya-tanya, apakah ini jalan yang benar? Tapi, berdasarkan tiga patokan yang saya pegang, saya tetap jalan.

Dan ternyata, medan yang kami lalui semakin lama semakin tidak bersahabat. Amat tidak bersahabat malahan. Kecuraman semakin menjadi-jadi, akar-akaran pun sudah mulai sedikit, sehingga kami harus bergantung kepada kekuatan dan keseimbangan tangan dan kaki kami. Saya harus berakrobat-ria dan sesekali terpeleset. Bahkan, pohon-pohonan dan akar-akaran yang ada kebanyakan mempunyai duri, sehingga tidak mungkin untuk dijadikan pegangan.

Sampai pada satu titik kecuraman sudah mendekati 900, mungkin sekitar 750-800. Dengan kondisi tanah yang gembur, dan tidak adanya pegangan, saya pun tidak bisa mendaki titik tersebut. Saya sudah mencoba sekuat tenaga, merayap, tetapi tetap saja tidak terdaki. Yang terjadi malahan batu-batu kecil dan tanah longsor ke bawah.

Itulah saat dimana saya merasa putus asa. Kekuatan fisik yang saya punya ternyata tidak sanggup untuk membawa saya bisa mendaki titik tersebut. Saya benar-benar merasa direndahkan. Saat itu juga, saya kehilangan semangat untuk melanjutkan pendakian. Saya pun berhenti mencoba mendaki titik tersebut dan menunggu yang lain.

Setelah Octa mendekati saya, dia ternyata juga sedang mengalami kesulitan di satu tempat. Mungkin kerena dia membawa carrier yang lumayan berat. Saya pun berganti tas dengan dia agar dia bisa naik. Lalu, dengan membuang segala ego yang saya punya, karena saya tahu saya tak bisa mendaki titik tersebut, saya pun menyuruh Octa untuk berganti posisi dengan saya dan menaiki titik tersebut dengan harapan dia bisa membantu saya naik. Ketika dia naik, ternyata terjadi longsor. Bahkan, ada batu yang lumayan besar yang jatuh dan akhirnya mengenai lutut Dwi. Batu tersebut juga hampir mengenai kepala Ferry, untung saja ada kayu pas di atas kepala dia, sehingga batu tersebut berubah jalur.

Melihat situasi ini, Kiki sebagai ketua perjalanan, memutuskan agar kami turun saja dan mencoba naik melalui jalur yang kedua. Lalu kami pun turun…….dengan cara yang agak aneh yaitu merosot. Saat perjalanan turun, Dwi menangis. Lalu untuk mengembalikan semangat kami, Kiki mengajak kami untuk berdoa lagi.

Dalam perjalanan turun, satu hal yang saya syukuri, saya mencatat semua persimpangan di jalur pendakian, sehingga tidak bingung mencari jalan turun dan tidak tersesat.

Tapi, dalam perjalanan turun, dekat dengan kaki gunung, saya tergelincir dan kaki kiri saya keseleo. Amat konyol. Gara-gara itu, kami membatalkan niat untuk mendaki puncak melalui jalur kedua dan berkemah di kaki saja.

Kami gagal menaklukkan Manglayang…..

Kami gagal melihat sunrise…..

Akan tetapi, sekarang saya menyadari adanya berkat yang saya dapatkan melalui kegagalan ini. Kebersamaan dan pembelajaran.

Saat berkemah di kaki gunung, saya sangat menikmati kebersamaan kami. Mulai dari makan bersama (dengan tangan yang penuh lumpur) yang walaupun sederhana tetapi terasa sangat lezat, sharing, melihat bintang dan city light, ‘perang’, dan saat teduh bersama paginya. Priceless. Saya bersyukur bisa menikmati kebersamaan tersebut dan mengatasi rasa kesal akibat kegagalan mencapai puncak.

Saya pun mendapatkan pembelajaran yang tidak mungkin dapat saya lupakan..

Saya tidak mungkin bisa melupakan rasa putus asa yang saya alami saat di atas. Saya adalah orang yang optimis dan percaya diri dengan kemampuan saya. Bahkan terkadang kelewat percaya diri yang menjurus ke sombong. Saya bersyukur saya diberikan kegagalan ini sehingga saya bisa semakin mengandalkan Dia. Saya bersyukur saya telah direndahkan agar saya selalu ingat ada yang lebih tinggi dari saya. Ternyata yang saya butuhkan bukanlah fisik yang kuat, bukanlah otak yang cemerlang, dll. Yang saya perlukan adalah Tuhan. Semuanya adalah sia-sia kalau saya tidak mengandalkan Tuhan di dalam hidup saya. Terimakasih Tuhan untuk perjalanan dan pembelajaran ini.

Manglayang, kamu mungkin bisa menaklukkan fisik saya..

Tapi, kamu gak bisa menaklukkan semangat saya..

Gak akan pernah bisa..

NB :Temen-temen, makasih yah buat perjalanan ini. Lain kali kita taklukkan Manglayang (dengan formasi yang lebih lengkap dan mengurangi sifat ‘sok jago’, hehe..)

But seek ye first the kingdom of God, and his righteousness; and all these things shall be added unto you.”

10 Responses to “Gifts from Manglayang..”

  1. dwihutapea said

    ga abis2 ya kalo cerita tentang manglayang. Setiap kita punya versi dan pembelajaran masing-masing.

    Seneng bisa bareng2 kalian 🙂
    Gw juga bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan ini. Banyak banget hal yang bisa direnungkan dan bener kata lo,
    “Ternyata yang saya butuhkan bukanlah fisik yang kuat, bukanlah otak yang cemerlang, dll. Yang saya perlukan adalah Tuhan.”

    sepakat banget!!

  2. octa said

    mantaf gan,,
    kita harus menaklukan diri sendiri sebelum kita mendaki Manglayang lagi…

  3. Rebecca said

    tng wi..kesukaan g cm yg itu kok
    boleh n*ng*s dulu ga?
    itu yg favorit..keren lo!!!!!!

    rega..apanya yg bkn nangis si?blog nya dwi lbh mengharukan.HA!

    next time deh manglayang,g ikut liat sunrise n sunset!
    HA!liat adjyaaaa

  4. Ruth Naibaho said

    bagian yg lo dipijet okta am ferry mana??
    hahaha!!

    “Saya benar-benar merasa direndahkan.”
    Ga, jadi igt satu ayt.. bc deh.. yesaya 2: 11
    Dia kreatif.. amp qt aj bs ngerasa berkatnya wlpn lwt kegagalan..

  5. kiki fernando saragih said

    aduh2, smua peserta manglayang punya blog smua,.
    ferry ada ga ya???

    malu gini awak nge post di “notes” FB..
    hahaha

    ga apa2 lah

    yah, tengkyu teman2 buat pengalamannya di manglayang.
    i miss that time, really…

  6. regasadja said

    @dwi
    heeh,,smoga pembelajaran yang didapet tetap kita inget terus yah.

    @octa
    betul. jangan sampe manglayang lagi yang menaklukkan kita.

    @becca
    yah,,itu kan emang lebainya gua supaya elo baca.HA!

    @ruth
    kapan gua dipijet ferry ama octa?
    wah,wah gak bener ini beritanya,,haha.
    thx yh ayatnya.

    @kiki
    buatlah makanya ki.
    biar awak bisa baca juga ceritamu,,hehe.

  7. mosessitio said

    co cwiiitttt…
    keren2..
    kapan lagi NAVOS naek…
    maantap gan..hehehe;-)

    • regasadja said

      Belom tau juga ni ses..
      Tergantung keadaan..
      Kapan2 maunya semua kita naik ni ses..
      Biar rame2 capeknya,,hehe..

Leave a comment